Gunung Lawu (3.265 mdpl) terletak di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di
perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Status gunung ini adalah
gunung api "istirahat" dan telah lama tidak aktif, terlihat dari
rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya terdapat
kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang
(solfatara). Gunung Lawu mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit,
hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous.
Gunung Lawu memiliki tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan
Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.
Di lereng gunung ini terdapat sejumlah tempat yang populer sebagai
tujuan wisata, terutama di daerah Tawangmangu, Cemorosewu, dan Sarangan.
Agak ke bawah, di sisi barat terdapat dua komplek percandian dari masa
akhir Majapahit: Candi Sukuh dan Candi Cetho. Di kaki gunung ini juga
terletak komplek pemakaman kerabat Praja Mangkunagaran: Astana Girilayu
dan Astana Mangadeg. Di dekat komplek ini terletak Astana Giribangun,
mausoleum untuk keluarga presiden kedua Indonesia, Suharto.
Gunung Lawu bersosok angker dan menyimpan misteri dengan tiga puncak
utamanya : Harga Dalem, Harga Dumilah dan Harga Dumiling yang dimitoskan
sebagai tempat sakral di Tanah Jawa. Harga Dalem diyakini masyarakat
setempat sebagai tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya Pamungkas, Harga
Dumiling diyakini sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon, dan Harga
Dumilah merupakan tempat yang penuh misteri yang sering dipergunakan
sebagai ajang menjadi kemampuan olah batin dan meditasi.
Konon kabarnya gunung Lawu merupakan pusat kegiatan spiritual di Tanah
Jawa dan ada hubungan dekat dengan tradisi dan budaya keraton, semisal
upacara labuhan setiap bulan Sura (muharam) yang dilakukan oleh Keraton
Yogyakarta. Dari visi folklore, ada kisah mitologi setempat yang menarik
dan menyakinkan siapa sebenarnya penguasa gunung Lawu dan mengapa
tempat itu begitu berwibawa dan berkesan angker bagi penduduk setempat
atau siapa saja yang bermaksud tetirah dan mesanggarah.
weweler atau peraturan-peraturan yang tertulis yakni larangan-larangan
untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan,
dan bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib
naas.
Cerita dimulai dari masa akhir kerajaan Majapahit (1400 M). Alkisah,
pada era pasang surut kerajaan Majapahit, bertahta sebagai raja adalah
Sinuwun Bumi Nata Bhrawijaya Ingkang Jumeneng kaping 5 (Pamungkas). Dua
istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan
Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Jinbun Fatah, dari Dara Jingga
lahir putra Pangeran Katong.
Jinbun Fatah setelah dewasa menghayati keyakinan yang berbeda dengan
ayahandanya yang beragama Budha. Jinbun Fatah seorang muslim. Dan
bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Jinbun Fatah mendirikan Kerajaan di
Glagah Wangi (Demak). Melihat situasi dan kondisi yang demikian itu ,
masygullah hati Sang Prabu. Akankah jaman Kerta Majapahit dapat
dipertahankan?
Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi
memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun datang, pesannya : sudah
saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke
kerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru (Islam) memang sudah
takdir dan tak bisa terelakkan lagi.
Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang
setia Sabdopalon diam-diam meninggalkan keraton dan melanglang praja
dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia
bertemu dengan dua orang umbul (bayan/ kepala dusun) yakni Dipa Menggala
dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang umbul itu
pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Niat di hati mereka adalah
mukti mati bersama Sang Prabu . Syahdan, Sang Prabu bersama tiga orang
abdi itupun sampailan di puncak Harga Dalem.
Saat itu Sang Prabu bertitah : Wahai para abdiku yang setia sudah
saatnya aku harus surut, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai
ini. Kepada kamu Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi
penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib (peri, jin dan
sebangsanya) dengan wilayah ke barat hingga wilayah Merapi/Merbabu, ke
Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke
utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan
kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai
Jalak.
Suasana pun hening dan melihat drama semacam itu, tak kuasa menahan
gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang
Prabu: Bagaimana mungkin ini terjadi Sang Prabu? Bila demikian adanya
hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke
Harga Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini. Dan dua orang tuan
dan abdi itupun berpisah dalam suasana yang mengharukan.
Singkat cerita Sang Prabu Barawijaya pun muksa di Harga Dalem, dan
Sabdopalon moksa di Harga Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa
gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya
kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan
tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.
Tempat-tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain
tiga puncak tersebut yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang
Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat
Kepanasan/Cakrasurya, dan Pringgodani. Bagaimana situasi Majapahit
sepeninggak Sang Prabu? Konon sebagai yang menjalankan tugas kerajan
adalah Pangeran Katong. Figur ini dimitoskan sebagai orang yang sakti
dan konon juga muksa di Ponorogo yang juga masih wilayah gunung Lawu
lereng Tenggara.
Kembali lagi ke Gunung Lawu.
Di lain sisi, gunung lawu juga menghadirkan pesona tersendiri. Gunung ini menjadi magnet bagi pecinta alam dan pendaki. Tidak jauh berbeda dengan gunung2 lain, Gunung Lawu memamerkan pemandangan yang luar biasa.
Di lain sisi, gunung lawu juga menghadirkan pesona tersendiri. Gunung ini menjadi magnet bagi pecinta alam dan pendaki. Tidak jauh berbeda dengan gunung2 lain, Gunung Lawu memamerkan pemandangan yang luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar