Bangunan joglo yang besar nan kokoh itu terlihat sepi tanpa terlihat aktivitas manusia apapun. Biasanya bangunan ini ramai dikunjungi karena banyak yang memercayainya sebagai pembawa berkah. Masjid Besar Mataram Kota Gede begitulah masyarakat Yogyakarta mengenalnya.
Masjid tersebut merupakan salah satu benda cagar budaya Yogyakarta yang ternyata merupakan cikal bakal Kerajaan Mataram Islam dan saksi pecahnya Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta bagian Puroluyo Mas Bekel Hastano menjelaskan bangunan ini didirikan 1579 oleh Ki Ageng Pemanahan, orang yang diberi hadiah Hutan Mentaok oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir karena berhasil membunuh Arya Penangsang.
"Dulunya bangunan ini termasuk Hutan Mentaok, lalu dibangun tempat tinggal keluarga Ki Ageng Pemanahan," papar Mas Bekel Hastano ketika ditemui di Bangsal Dudo Masjid, Rabu (3/8). Kurang lebih selama 10 tahun berdirinya bangunan tempat tinggal ini, anak Ki Ageng Pemanahan yang bernama Panembahan Senopati akhirnya mendirikan Kerajaan Mataram Islam di Kota Gede. Letak kerajaan tersebut berada di Kampung Dalem yang jaraknya kurang lebih 300 meter dari kediamanan Ki Ageng Pemanahan.
Ketika Kerajaan Mataram Islam dipimpin oleh Sinuwun Prabu Hanyokrowati sebagai raja kedua (1601-1612), Masjid Besar Kota Gede dibangun sebagai tempat persembahyangan raja Mataram dan keluarga. "Sejak didirikan masjid ini, ada akulturasi budaya Islam. Para raja Mataram Islam menyebarkan agama Islam di masjid tersebut," jelas Mas Bekel Hastano.
Setelah tahun 1755,Keraton Mataram Islam ini pecah menjadi dua yaitu Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Pecahnya keraton ini merupakan upaya Belanda untuk mengurangi kekuatan Mataram. Keraton Surakarta dipimpin oleh Paku Buwono II, sedangkan Yogyakarta dipimpin oleh Hamengku Buwono II. Kedua raja tersebut adalah saudara sama ayah lain ibu.
Pecahnya dua keraton ini akhirnya berlanjut hingga sekarang sehingga secara administrasi sangat berbeda. Salah satu perbedaan mencolok adalah gelar raja. Raja Keraton Surakarta bergelar Paku Buwono (sekarang Paku Buwono XIII) dan Yogyakarta bergelar Hamengku Buwono (sekarang Hamengku Buwono X). "Pakaiannya pun berbeda. Raja Yogyakarta menggunakan baju peranakan, sedangkan raja Surakarta menggunakan beskap," tambah Mas Bekel.
Di bagian belakang, terletak makam raja-raja Mataram yang jumlahnya mencapai 627. Makam ini terdiri dari keluarga Mataram, Hamengku Buwono I dan II, serta Pakulaman I hingga IV. Saat bulan puasa seperti ini biasanya makam akan ditutup. Namun pada malam hari setelah salat tarawih, para abdi dalem membaca Alquran di lokasi makam.
Sumber : National Geographic Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar